Rabu, 11 Januari 2012

BANTAHAN MANGKUL BAGIAN 3

Adapun tahammul wal ‘ada atau ada yang menyebutnya tahammul ‘ilm (cara menerima ilmu/hadits –studies in hadits methodology & literature karya Dr. azami (guru besar jami’ah Riyadh disaudi Arabia) dikenal dengan beberapa cara, sebagai berikut:
[1].as sama’ : yaitu guru membacakan kepada murid (cara seperti ini digunakan pada periode awal sahabat).
[2].’ard/Qira’ah : murid membacakan pada guru.
[3].ijazah : mengizinkan seseorang untuk meriwayatkan hadits/kitab berdasarkan wewenang ulama yang mempunyai kitab tanpa dibacakan (cara ini muncul setelah abad ke tiga). –sebagai contoh dizaman sekarang cara ini dilakukan oleh asy syaikh albani (wafat tahun 1420H/1999M) mendapatkan wewenang untuk menyampaikan hadits berdasarkan ijazah dari gurunya yaitu asy syaikh Muhammad raghib at thabbagh, dan sekarang asy syaikh albani ijazah penyampaiannya telah diserahkan kepada asy syaikh ali hasan, dan keilmuan hadits asy syaikh albani telah dites oleh doctor azami (guru besar di universitas Riyadh).
[4].munawalah : menyerahkan kitab-kitabnya kepada murid-muridnya (tentunya si murid telah menguasai ilmu tersebut).
[5].al kitabah : dengan surat ( cara ini pernah dilakukan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengajak islam kepada imam-imam (penguasa) kafir, salah satunya raja heraqlius dengan mengirim surat [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] begitupun telah dilakukan juga pada masa khalifah arrasidin)
[6]. Al I’lam : memberitahu kepada seseorang bahwa dia (sipemberi informasi) telah mendapat untuk meriwayatkan bahan tertentu. (contoh seorang guru memberitahu kepada seorang muridnya bahwa kitab ini riwayatnya si fulan..dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Para ulama juga berselisih dengan cara ini..sebagian membolehkan sebagian yang lain tidak, cara ini sulit dilacak pada masa awal).
[7]. Al wasiyah : mewasiatkan bukunya kepada seseorang (contoh seorang syaikh mewasiatkan kitabnya disaat mendekati ajalnya. Riwayat ini sebagian ulama mengatakan boleh sebagian lain tidak, dan yang shahih adalah tidak boleh).
[8]. Al wijadah : menjumpai sebuah kitab yang ditulis seseorang (contoh si fulan datang ke maktabah kemudian membaca-baca hadits / kitab yang karang oleh para ulama’. Dan cara ini telah kita bahas pada artikel sebelumnya..silakan di lihat).
Di jama'ah354 umumnya menggunakan cara yang pertama (assama’) yang mereka namakan “mangkul”. Tapi dalam praktek pemahamannya sangat-sangat bertentangan dengan atsar-atsar yang telah dibawakan oleh rasulullah dan para sahabatnya (silakan dibaca kembali awal-awal bab mangkul). Dan tentunya cara-cara yang lain diharamkan menurut ajaran mereka, apalagi yang nomer ke delapan “al wijadah”.
Dan yang memperkuat bahwa merekalah yang justru menyelisihi kaidah mangkulnya yakni Seharusnya kalau memang ilmunya dulu dimangkulkannya bersambung-sambung sampai rasulullah –tapi ternyata tidak, justu menyelisihi- apa yang mereka sampaikan sedikit banyaknya “qoola rasulullah..qoola rasulullah..” maksudnya banyak ucapan-ucapan atau cerita-cerita rasulullah yang mereka sampaikan, tapi di 354 justru malah yang lebih banyak disampaikan hal-hal yang tidak shahih, isra ‘iliyyah, bahkan khurafat (kepercayaan batil) –contoh: diceritakan dulu pak KH. Nurhasan itu bisa terbang, bisa menghilang, makan beling, main ular, akrabat-akrabat yang berbau-bau syirik, bisa menaikan buah kelapa yang sudah jatuh kembali ke pohonnya, dan bahkan konon pernah masuk ke laut untuk amar ma’ruf sama nyi roro kidul..dan cerita ini bolak-balik diceritakan oleh para penceramah/ da’I nya 354 dan ini sudah masyhur dikalangan mereka, jama’ah 354 dari ujung barat sampai ujung timur kurang lebih banyak tahu cerita-cerita ini –insya allah-. Tapi, jika itu sudah dari amir/imam mereka itu katanya mangkul…subhanallah…
Ketahuilah wahai saudaraku, ilmu secara musnad/ isnad (kalau sudah berisnad pasti muttashil) itu pada dasarnya dilakukan pada ilmu hadits sejak tersebarnya fitnah dizaman ulama salaf (generasi terdahulu) tapi untuk kita generasi mutaakhirin (zaman sekarang) karena hadits-hadits telah terbukukan oleh para ulama’, apakah hadits tersebut shahih, dha’if atau maudlu’semua telah dijelaskan dan terbukukan, adapun kita sudah cukup mempelajari ilmunya. Tidak perlu harus mencari orang yang masuk dalam deretan sanad yang sampai kepada nabi.
sebagaimana yang diungkapkan ibnu sirin dalam muqaddimah shahih muslim. Beliau menjelaskan :
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
mereka dulu (para ulama’ hadits,pen) tidak pernah bertanya tentang isnad, tatkala terjadi fitnah, maka mereka berkata: “sebutkanlah kepada kami (orang-orang yang meriwayatkan hadits,pen) lalu dilihat, kalau dia ahlus sunnah maka diambil riwayatnya, begitu pula kalau dia ahli bid’ah maka tidak diambil riwayatnya”.[Lihat syarh shahih muslim juz 1 hal.76 cet, daarul khair]
Ini dalam bidang hadits, kalau dalam bidang fiqhiyyah tidak mesti semua ucapan. Ulama’ tersebut harus ada mata rantainya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi harus ada dasarnya. Kalau tidak ada dasarnya maka riwayatnya wajib ditolak. Adapun hadits-hadits yang telah dibukukan oleh para ‘ulama (seperti asy syaikh Muhammad bin isma’il telah mengarang sebuah kitab berjudul shahih bukhari, begitu pula ulama’-ulama’ lain yang telah membukukan kitabnya,pen) maka sekarang tak perlu lagi berisnad/mangkul. Yang wajib dimangkuli adalah ilmu-ilmu bagaimana qa’idah memahami alQur’an & hadits-hadits, seperti Qa’idah tafsir, musthalah hadits, gharibul hadits, aljahr wat ta’dhil, an nasikh wal mansukh, ashabul nuzul wal wurud dll yang berkaitan dengan ilmu-ilmu tafsir dan Qa’idah hadits agar tidak tersesat. Bukan hanya memahami lahiriyahnya suatu hadits saja dengan tanpa memperdulikan semua ini..!! wallahul musta’an…



seseorang yang mempunyai sanad bukan jaminan diatas aqidah yang benar
contoh: perawi yang bernama: Imron bin Hiththan seorang perowi dalam kitab Shahih Bukhori, lihat dihadits no. 5835 dan 5952. al imam bukhari meriwayatkan hadits dari jalannya, akan tetapi imran bin hiththan berakidah khawarij (namun dia bukan pendusta). Berikut penjelasannya:
Al-Hafizh Ibnu Atsakir menyebutkan kisahnya,
قال تزوج عمران بن حطان امرأة من الخوارج ليردها عن دين الخوارج فغيرته إلى رأي الخوارج
...Bahwa Imran bin Hiththan menikahi perempuan Khawarij (dengan tujuan) untuk mengeluarkan perempuan tersebut dari pemahaman Khawarijnya. Akan tetapi, perempuan itulah yang justru kemudian mengubah Imran menjadi Khawarij” (lihat: Tarikh Dimasyq 43/490).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
عمرَان بن حطَّان السدُوسِي الشَّاعِر الْمَشْهُور كَانَ يرى رَأْي الْخَوَارِج قَالَ أَبُو الْعَبَّاس الْمبرد كَانَ عمرَان رَأس القعدية من الصفرية وخطيبهم وشاعرهم انْتهى والقعدية قوم من الْخَوَارِج كَانُوا يَقُولُونَ بقَوْلهمْ وَلَا يرَوْنَ الْخُرُوج بل يزينونه وَكَانَ عمرَان دَاعِيَة إِلَى مذْهبه
Imran bin Hiththan as-Sudusi, seorang penyair terkenal. Ia berfaham Khawarij. Abu Abbas al-Mubarrad berkata, ‘‘Imran bin Hiththan adalah pimpinan, penyair dan khathib al-Qa’diyah.’ Al-Qa’diyah adalah kelompok sempalan dari Khawârij yang berpandangan tidak perlu memberontak atas penguasa akan tetapi mereka hanya merangsang untuk memberontak. Imran adalah juru dakwah kepada mazhabnya”. (lihat: Fathul Baari syarah shahih bukhari 1/432).
Imam Bukhori menerima haditsnya karena walaupun berpemahaman Khawarij, Imron dikenal tsiqah dan tidak suka berdusta.
Al-Hafizh Al-Mizzi berkata,
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: لَيْسَ فِي أَهْلِ الأَهْوَاءِ أَصَحُّ حَدِيْثاً مِنَ الخَوَارِجِ. ثُمَّ ذَكَرَ عِمْرَانَ بنَ حِطَّانَ...
Imam Abu Dawud berkata, Tidak ada dari ahli bid’ah yang shahih haditsnya kecuali dari kelompok Khawarij, kemudian beliau menyebutkan Imron bin Hiththan… ”. (lihat: Tahdzib Al-Kamal 22/323).
tambahan:
 Imron semula adalah ahlus sunnah, kemudian diakhir hidupnya berubah karena terpengaruh oleh istrinya. Al-Hafizh Ibnu Atsakir rahimahullahu menyebutkan kisahnya, “… Bahwa Imran bin Hiththan menikahi perempuan Khawarij (dengan tujuan) untuk mengeluarkan perempuan tersebut dari pemahaman Khawarijnya. Akan tetapi, perempuan itulah yang justru kemudian mengubah Imran menjadi Khawarij” (Tarikh Dimasyq 43/490).
Lihat pula biografi Imron oleh:
Bukhori dalam Tarikh (6/413),
Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wa Ta’dil jilid (6/296),
Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqah (5/222),
Adz-Dzahabi dalam Siyar ‘Alam An-Nubala (5/121 –cet. Darul Hadits),
Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib (8/127) dan lainnya.


Tapi riwayat dari seorang yang suka berdusta atau bersumpah palsu demi membela mazhabnya tidak dapat diterima riwayatnya, pengikut 354 terkenal suka berdusta atau bahkan sampai sumpah-sumpah palsu demi menutupi madzab dan aqidahnya, maka andaikata benar mereka memiliki sanad periwayatan maka periwayatannya itu tidak diterima disisi ahli hadits ditinjau dari ilmu hadits. Contoh: kalau kita tanyakan kepada mereka, “apakah di 354 ada keamiran, bai'at?? mereka akan menjawab “tidak...diajaran kami tidak ada keamiran dan bai'at” bahkan kadangkala mereka sampai sumpah palsu untuk menutupi itu...wallahul musta'an...
Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullahu (w. 748 H/ 1347 M) memberi alasan,
بَلِ الْكَذِبُ شِعَارُهُمْ، وَالنِّفَاقُ وَالتَّقِيَّةُ دِثَارُهُمْ، فَكَيْفَ يُقْبَلُ مَنْ هَذَا حَالُهُ
... sebab bahkan kedustaan adalah ciri khas mereka dan taqiyah dan nifak pakaian mereka. Bagaimana bisa diterima riwayat dari mereka?”(Mizan Al-I’tidal 1/118 –Cet Darul Kutub Ilmiyah)
Maksud beliau, walaupun mereka memiliki sanad dan menuturkan sanad, tapi riwayat mereka tetap tidak diterima, sebab menjadi kabur dan tersamar antara kebenaran dan kedustaannya. Tidak jelas, apakah riwayatnya ini taqiyah atau sebuah kebenaran. 
Imam Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu (w. 463 H/ 1072 M) berkata,
طَائِفَة من أهل الْعلم إِلَى قبُول أَخْبَار أهل الْأَهْوَاء الَّذين لَا يعرف مِنْهُم استحلال الْكَذِب وَالشَّهَادَة لمن وافقهم
... Sebagian ulama menerima riwayat dari ahli bid’ah yang tidak dikenal menghalalkan dusta dan membuat kesaksian palsu untuk para pengikutnya”. (Al-Kifayah hal. 367 –cet Darul Huda).


Al-Hafizh Ibn Shalah rahimahullahu (w. 643 H/ 1245 M) berkata,
وَمِنْهُمْ مَنْ قَبِلَ رِوَايَةَ الْمُبْتَدِعِ إِذَا لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَسْتَحِلُّ الْكَذِبَ فِي نُصْرَةِ مَذْهَبِهِ أَوْ لِأَهْلِ مَذْهَبِهِ
Diantara para ulama ada yang menerima riwayat ahli bid’ah asal tidak menghalalkan dusta untuk membela mazhab atau bagi pengikutnya”. (Muqadimah Ibn Shalah hal. 298 –cet Darul Ma’arif).
Imam Nawawi rahimahullahu (w. 676 H/ 1278 M) berkata,
وَمَنْ لَمْ يُكَفَّرْ قِيلَ: لَا يُحْتَجُّ مُطْلَقًا، وَقِيلَ: يُحْتَجُّ بِهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ مِمَّنْ يَسْتَحِلُّ الْكَذِبَ فِي نُصْرَةِ مَذْهَبِهِ، أَوْ لِأَهْلِ مَذْهَبِهِ ،
Dan siapa saja (Ahli bid’ah) yang tidak kafir, sebagian (ulama) menolak riwayatnya secara mutlak dan sebagian yang lain menerima asal tidak menghalalkan dusta untuk membela madzhab dan pengikut madzhabnya”. (At-Taqrib wa At-Taisir hal. 50-51 – Darul Kutub Al-’Arobi).


Bukti para sahabat rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mangkul ala 354



pertama, sahabat abu bakar radhiyallahu’anhu.
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَعَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ ثُمَّ عَمِلَ بِهِ عُمَرُ حَتَّى قُبِضَ فَكَانَ فِيهِ
Dari Salim dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah menulis catatan mengenai zakat dan beliau tidak mengeluarkannya kepada para pegawainya hingga beliau meninggal. Beliau menyimpan catatan itu pada pedangnya. Kemudian beramal dengan catatan itu Abu Bakr hingga ia meninggal, kemudian dilaksanakan oleh Umar hingga ia meninggal. Catatan tersebut berisi ….[Abu Dawud (no. 1568), Tirmidzi (no. 621) dan Ahmad (no. 4632)]
kedua, sahabat ali radiyallahu anhu.
وُجِدَ فِي قَائِمِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَحِيفَةٌ فِيهَا مَكْتُوبٌ …
Aku menemukan dalam gagang pedang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebuah tulisan didalamnya termaktub….[Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr (1/304) no. 393 –cet Darul Ibnu Al-Jauzi), disebutkan dalam Musnad Asy-Syafi’i (1/198 – cet Darul Kutub Al-Ilmiyah), Baihaqi dalam Sunan juga dari jalan Asy-Syafi’i (no. 15894)]
ketiga, perbuatan aisyah radhiyallahu’anha.
...وُجِدَ فِي قَائِمِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابَانِ فِي أَحَدِهِمَا
Aku menemukan dalam gagang pedang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dua buah surat dalam salah satu dari keduanya (tertulis)…[Dikeluarkan oleh Al-Mawardzi dalam As-Sunnah (no. 282 – Tahqiq Salim Ahmad As-Salafi), Abu Ya’la (8/198-199) no. 4757, Ad-Daruquthni dalam Sunan (3249), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 8024), dan Baihaqi (no. 15896, 15915)] Adz-Dzahabi berkata, “Shahih”. Disebutkan Al-Haitsami dalam Majma az-Zawaid (6/295) .
ini sebagian kecil dari contoh amalan para sahabat. Ternyata para sahabat sendiri tidak mangkul ala 354...ternyata mangkul ala 354 ini justru menyelisihi, atau apakah kalian akan mengatakan ilmu mereka tidak sah karena didapat tidak mangkul?!subhaanallah...


SIMAKLAH PENJELASAN BEBERAPA ULAMA' AHLUS SUNNAH BERIKUT INI:



ـ سئل فضيلة الشيخ ـ غفر الله له ـ : هل يجوز تعلم العلم من الكتب فقط دون العلماء وخاصة إذا كان يصعب تعلم العلم من العلماء لندرتهم؟ وما رأيك في القول القائل: من كان شيخه الكتاب كان خطؤه أكثر إلى الصواب؟
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Bolehkah belajar ilmu dari kitab-kitab saja tanpa belajar kepada ulama, khususnya jika ia kesulitan belajar kepada ulama karena jarangnya mereka? Bagaimana pendapat Anda tentang ucapan yang menyatakan: barang siapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya?
فأجاب قائلا: لا شك أن العلم يحصل بطلبه عند العلماء وبطلبه في الكتب؛ لأن كتاب العالم هو العالم نفسه، فهو يحدثك من خلال كتابه، فإذا تعذر الطلب على أهل العلم، فإنه يطلب العلم من الكتب، ولكن تحصيل العلم عن طريق العلماء أقرب من تحصيله عن طريق الكتب؛ لأن الذي يحصل عن طريق الكتب يتعب أكثر ويحتاج إلى جهد كبير جدًّا، ومع ذلك فإنه قد تخفى عليه بعض الأمور كما في القواعد الشرعية التي قعَّدها أهل العلم والضوابط، فلا بد أن يكون له مرجع من أهل العلم بقدر الإمكان.


Beliau menjawab:
Tidak diragukan lagi bahwa ilmu bisa diperoleh dengan mempelajarinya dari para ulama dan dari kitab. Karena, kitab seorang ulama adalah ulama itu sendiri, dia berbicara kepadamu tentang isi kitab itu. Jika tidak memungkinkan menuntut ilmu dari ahli ilmu maka ia boleh mencari ilmu dari kitab. Akan tetapi memperoleh ilmu melalui ulama lebih dekat (mudah) daripada memperoleh ilmu melalui kitab, karena orang yang memperoleh ilmu melalui kitab akan banyak menemui kesulitan dan membutuhkan kesungguhan yang besar, dan akan banyak perkara yang akan dia fahami secara samar sebagaimana terdapat dalam kaidah syar'iyyah dan batasan yang ditetapkan oleh para ulama. Maka dia harus mempunyai tempat rujukan dari kalangan ahli ilmu semampu mungkin.
وأما قوله: "من كان دليله كتابه فخطؤه أكثر من صوابه" ، فهذا ليس صحيحًا على إطلاقه ولا فاسدًا على إطلاقه، أما الإنسان الذي يأخذ العلم من أيّ كتاب يراه فلا شك أنه يخطئ كثيرًا، وأما الذي يعتمد في تعلُّمه على كتب رجال معروفين بالثقة والأمانة والعلم فإن هذا لا يكثر خطؤه بل قد يكون مصيبًا في أكثر ما يقول
الكتاب : كتاب العلم -مؤلف: محمد بن صالح العثيمين1/174
Adapun perkataan yang menyatakan: Barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya. Perkataan ini tidak benar secara mutlak, tetapi juga tidak salah secara mutlak. Jika seseorang mengambil ilmu dari semua kitab yang dia lihat, maka tidak ragu lagi bahwa dia akan banyak salah. Adapun orang yang mempelajarinya bersandar kepada kitab orang-orang yang telah dikenal ketsiqahannya, amanahnya, dan ilmunya, maka dalam hal ini dia tidak akan banyak salah bahkan dia akan banyak benarnya dalam perkataannya
Dinukil (manqul) dari Kitabul 'Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


112ـ وسئل الشيخ ـ غفر الله له ـ : بعض طلبة العلم يكتفون بسماع أشرطة العلماء من خلال دروسهم فهل تكفي في تلقي العلم؟ وهل يعتبرون طلاب علم؟ وهل يؤثر في مُعْتَقَدِهم؟
Syaikh ditanya – semoga Allah mengampuninya - Sebagian Pencari Ilmu merasa cukup dengan mendengarkan kaset rekaman ulama, tanpa mendatangi pelajaran mereka, apakah hal ini dianggap memadai di dalam hal pengambilan Ilmu? Da apakah mereka dianggap sebagai pencari Ilmu? Dan apakah aqidah mereka ditinggalkan?
فأجاب فضيلته بقوله: لا شك أن هذه الأشرطة تكفيهم عن الحضور إلى أهل العلم إذا كان لا يمكنهم الحضور، وإلا فإن الحضور إلى العلماء أفضل وأحسن وأقرب للفهم والمناقشة، لكن إذا لم يمكنهم الحضور فهذا يكفيهم.
Maka Fadhilah Syaikh menjawabnya: Tidak diragukan lagi bahwa kaset-kaset rekaman tersebut dapat mencukupi (memadai ) mereka dari mendatangi ahli ilmu, jika ia tidak memungkinkan untuk hadir, dan jika tidak maka kehadiran kepada para ulama' itu lebih utama dan lebih baik dan lebih mendekati kepada kefahaman dan melakukan pembahasan/diskusi, akan tetapi bila tidak memungkinkan untuk hadir, maka ini telah mencukupi mereka (mendengar dari kaset rekaman)
ثم هل يمكن أن يكونوا طلِبة علم وهم يقتصرون على هذا ؟
نقول: نعم يمكن إذا اجتهد الإنسان اجتهادًا كثيرًا كما يمكن أن يكون الإنسان عالمًا إذا أخذ العلم من الكتب، لكن الفرق بين أخذ العلم من الكتب والأشرطة وبين التلقي من العلماء مباشرة، أن التلقي من العلماء مباشرة أقرب إلى حصول العلم؛ لأنه طريق سهل تمكن فيه المناقشة بخلاف المستمع أو القارئ فإنه يحتاج إلى عَناء كبير في جمع أطراف العلم والحصول عليه.
Kemudian ditanyakan apakah memungkinkan mereka dikatakan menuntut ilmu sedangkan mereka membatasi atas ini (cuma mendengarkan rekaman)?
Kami katakan: ya, memungkinkan, bila seseorang berupaya sungguh-sungguh sebagaimana pula memungkinkan bagi seseorang menjadi 'alim ketika ia mengambil ilmu dari kitab-kitab. Akan tetapi berbeda antara mengambil ilmu dari kitab-kitab (dengan membaca) atau mendengarkan rekaman dan dengan memperoleh ilmu dengan bertemu langsung para ulama. Bahwa mengambil ilmu secara langsung pada ulama lebih dekat untuk memperoleh ilmu, karena ini adalah cara yang mudah yang memungkinkan melakukan pembahasan/diskusi berbeda dengan cara mendengar atau membaca yang membutuhkan usaha maksimal di dalam mengumpulkan kesimpulan-kesimpulan ilmu dan memperolehnya.
وأما قول السائل: هل يؤثر الاكتفاء بالأشرطة في معتقدهم، فالجواب: نعم يؤثر في معتقدهم إذا كانوا يستمعون إلى أشرطة بدعية ويتبعونها، أما إذا كانوا يستمعون إلى أشرطة من علماء موثوق بهم، فلا يؤثر على معتقداتهم، بل يزيدهم إيمانًا ورسوخًا واتباعًا للمعتقد الصحيح.
Adapun ucapan penanya: Apakah orang yang mengambil kecukupan dengan sekedar mendengarkan rekaman lantas aqidah mereka ditinggalkan ?
Maka jawabannya: ya, ditinggalkan di dalam masalah aqidah mereka jika mereka mendengarkan pada rekaman-rekaman yang bersifat bid'ah dan mereka mengikutinya, adapun bila mereka mendengarkan rekaman-rekaman dari para ulama yang tepercaya, maka aqidah mereka tidak ditinggalkan, bahkan akan menambah keimanan, keteguhan dan ittiba' mereka pada aqidah yang shohih
الكتاب : كتاب العلم
المؤلف : محمد بن صالح العثيمين1/264






Imam As-Sayuthi rahimahullahu (w. 911 H/ 1505 M) dalam Tadribur Rawi fi Syarah Taqrib An-Nawawi hal 75-76 mengatakan,
قَالَ ابْنُ بَرْهَانٍ فِي الْأَوْسَطِ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ كَافَّةً إلَى أَنَّهُ لَا يَتَوَقَّفُ الْعَمَلُ بِالْحَدِيثِ عَلَى سَمَاعِهِ بَلْ إذَا صَحَّ عِنْدَهُ النُّسْخَةُ جَازَ لَهُ الْعَمَلُ بِهَا وَإِنْ لَمْ يَسْمَعْ ، وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو إِسْحَاقَ الْإسْفَرايِينِيّ الْإِجْمَاعَ عَلَى جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّصَالُ السَّنَدِ إلَى مُصَنِّفِهَا وَذَلِكَ شَامِلٌ لِكُتُبِ الْأَحَادِيثِ وَالْفِقْهِ ، وَقَالَ الطَّبَرِيُّ مَنْ وَجَدَ حَدِيثًا فِي كِتَابٍ صَحِيحٍ جَازَ لَهُ أَنْ يَرْوِيَهُ وَيَحْتَجُّ بِهِ
Berkata Ibn Barhan didalam kitab Al-Ausath: Ahli fiqh secara keseluruhan berpendapat bahwa mengamalkan hadits tidak hanya terbatas dengan mendengarkannya saja, bahkan jika teks hadits itu shahih menurutnya, maka boleh mengamalkan teks hadits itu walaupun tidak didengarkan. Ustadz Abu Ishaq Al-Asfarayaini menceritakan ijma atas bolehnya menukil dari beberapa kitab yang menjadi pegangan dan tidak diisyaratkan bahwa sanadnya harus bersambung dengan penulisnya, sama saja baik kitab-kitab hadits atau fiqh. Ath-Thabari berkata, “Barangsiapa yang mendapatkan suatu hadits didalam kitab shahih, maka ia boleh meriwayatkannya dan berhujjah dengannya”.
 Kitab ini diberi muqadimah oleh Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dan dikomentari oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu.
Al-Qasimi rahimahullahu menyebutkannya pula dalam Qawa’id al-Tahdits hal 213.
Al-Hafizh Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullahu (w. 463 H/ 1072 M) dalam Al-Kifayah fi Ilmu Riwayah (halaman 354 dan seterusnya –cet Maktabah Al-Ilmiyah), bahkan membuat suatu bab khusus yang beliau beri judul:
ذِكْرُ بَعْضِ أَخْبَارِ مَنْ كَانَ مِنَ الْمُتَقَدِّمِينَ يَرْوِي عَنِ الصُّحُفِ وِجَادَةً مَا لَيْسَ بِسَمَاعٍ لَهُ وَلَا إِجَازَةٍ
Sebagian Khabar menyebutkan bahwasanya ada diantara orang-orang terdahulu (ulama dulu) yang meriwayatkan dari lembaran yang mereka dapatkan bukan lewat pendengaran (sema’an) atau ijazah (izin meriwayatkan)”.
Subhanalaah...Ternyata para pendahulu dari kalangan salafus shalih tidak mempunyai paham seperti jama'ah 354, bahkan mereka telah sepakat (ijma') bolehnya mengamalkan sebuah ilmu -tentunya yang shahih- hanya dengan membaca kitab-kitab, walaupun tidak mendengar langsung.






ternyata sistem mangkul ala jama'ah354 menyerupai kaum sesat sufi, dan syi'ah!!
mereka jama'ah354 berkata:
Orang yang mengaji Al-qur'an dan Al-Hadits dengan ro'yu (tidak mangqul) digambarkan sama halnya dengan orang yang mendapatkan uang asli tetapi dengan cara yang tidak sah seperti mencuri, atau diumpamakan seperti masuk ke rumah orang lain tanpa izin pemiliknya, atau masuk rumah tidak melalui pintu” [kami nukil dari makalah CAI-PERMATA 2009 dengan judul " Hakekat Kebenaran Menetapi Qur'an Hadits Jama'ah"]
kajian:
dari poin diatas, mereka membangun aqidah dengan cara Mangkul maka dapat mengesahkan ilmu dan amal, artinya sebaliknya mendapatkan ilmu dengan cara berguru tanpa mangkul atau dengan membaca kitab-kitab tafsir al-qur'an atau al-hadits atau syarah hadits baik teks asli arab ataupun terjemah, maka mereka anggap ilmu dan amalan ibadah seseorang menjadi tidak sah, bahkan islamnya seseorang menjadi sia-sia ( inilah sebenarnya kata akhir yang dikehendaki oleh jamaah 354 yakni pengkafiran kepada kaum muslimin )
sebenarnya ajaran mangkul jama'ah 354 ini kalau kita lihat bukan ajarannya para ulama' salaf/ahlussunnah wal jama'ah, melainkan mengikuti/menjiplak ajarannya kaum sufi. Sebagai berikut:
وكذلك فإن الصوفية عامة يرون ـ ومنهم الشاذِلية ـ أن علم الكتاب والسنة لا يؤخذان إلا عن طريق شيخ أو مربٍّ أو مرشد، ولا يتحقق للمريد العلم الصحيح حتى يطيع شيخه طاعة عمياء في صورة: "المريد بين يدي الشيخ كالميت بين يدي مُغسِّله" لذلك يُنظر إلى الشيخ نظرة تقديسية ترفعه عن مرتبته الإنسانية* موسوعة الرد على الصوفية- مجموعة من العلماء
Demikianlah sesungguhnya ajaran sufi secara umum – termasuk tarekat as-syadziliyah – berpendapat bahwa ilmu al-qur'an dan as-sunnah tidak boleh diambil kecuali dari jalur seorang guru atau murobbi atau mursyid dan tidak berhaq bagi murid untuk mendapatkan ilmu yang shohih sehingga ia menta'ati gurunya dengan ketaatan yang membuta, sebagaimana dalam sebuah perumpamaan " seorang murid dihadapkan gurunya bagaikan seonggok mayat di tangan orang yang memandikannya" oleh karenanyalah seorang guru dimata muridnya di pandang sebagai orang yang bersih ( ma'sum ) terangkat dari derajat manusia biasa ( yang bisa berbuat salah ) ( dinukil dari kitab mausu'ah roddi as-sufiyah).
Kalau kita perhatikan dalil perumpamaan yang di bangun oleh orang-orang sufi sangat mirip dengan kebiasaan perumpamaan yang dibangun oleh jamaah354, yakni perumpamaan yang tidak dibangun atas dasar dalil naqli yang shohih.
Selain itu juga kelompok sufi naqsyabandiyah membangun pendalilan seperti ucapannya seseorang yang ketagihan ganja, yakni;
من لا شيخ له فشيخه الشيطان، ومتى كان شيخه الشيطان كان في الكفر حتى يتخذ له شيخا متخلقا بأخلاق الرحمن»- البهجة السنية في آداب الطريقة العلية الخالدية النقشبندية ص 47
"Barang siapa yang tidak memiliki syaikh ( guru ), maka syaikhnya adalah syaitan, dan kapan seseorang gurunya adalah syaitan, maka ia berada di dalam kekafiran sehingga ia mengambil seorang guru yang berahlak dengan ahlaq Allah"
Dan memang sungguh mencengangkan bahwa ucapan ini juga kami dapatkan dari seorang mubaligh 354 yang katanya juga manqul!!?.
من لا شيخ له فهو كافر وفاسق عندهم, بل صرحوا بأن كل من لم يتخذ له شيخا فهو عاص لله ورسوله ولا يحصل له الهدى بغير شيخ، ولو حفظ ألف كتاب في العلم
الحديقة الندية في الطريقة النقشبندية ص 31 لمحمد بن سليمان البغدادي
Menurut mereka barang siapa yang tidak memiliki syaikh / guru maka hukumnya kafir lagi fasik, bahkan mereka menjelaskan bahwa setiap orang yang tidak mengambil guru pada seorang syaikh, maka hukumnya dia telah menentang kepada Allah dan rosul-Nya, dan dia tidak akan mendapatkan petunjuk tanpa ( berguru pada ) seorang syaikh, walaupun ia hafal seribu kitab ilmu.
Orang sufi juga berkata ;
لا تعترض فتنطرد .من قال لشيخه لِمَ ؟ لا يفلح* موسوعة الرد على الصوفية - مجموعة من العلماء...
"kamu jangan protes ( kepada guru ), maka kamu akan terusir, maka siapa saja yang bertanya pada gurunya : " Mengapa?" maka dia tidaklah beruntung!".
Ajaran mangkul ini juga menjiplak sekte syi'ah imamiyyah, berikut penjelasannya:
Mungkin ada dari jama'ah354 yang bertanya-tanya: apa buktinya bahwa doktrin Mangkul 354 adalah hasil jiplakan dan hasil adopsi dari sekte Syi’ah Imamiyah adalah salah satu judul bab dalam kitab Al Kafi karya Al Kulainy:

باب: أنه ليس شيء من الحق في أيدي الناس إلا ما خرج من عند الأئمة وأن كل شيء لم يخرج من عندهم فهو باطل

Bab: Tidak ada sedikit pun kebenaran yang ada di masyarakat selain yang disampaikan oleh para imam, dan segala sesuatu yang tidak disampaikan oleh mereka maka itu adalah bathil.” (Al Kafi 1/399).

Kemudian Al Kulainy menyebutkan ucapan Abu Ja’far (salah seorang yang dianggap sebagai Imam Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah):



ليس عند أحد من الناس حق ولا صواب ولا أحد من الناس يقضي
بقضاء حق إلا ما خرج منا أهل البيت وإذا تشعبت بهم الأمور
كان الخطأ منهم والصواب من علي عليه السلام. الكافي للكليني
1/399.



“Tidaklah ada seseorang memiliki al haq tidak juga kebenaran, dan tidaklah ada seseorang yang memutuskan suatu keputusan yang benar, selain dengan apa yang telah kami ajarkan yaitu ahlul bait (anak keturunan Ali). Dan bila mereka telah berselisih dalam berbagai permasalahan, maka pasti merekalah yang salah dan kebenaran hanya datang dari Ali alaihis salam.” (
Al Kafi oleh Al Kulainy 1/399).

Bandingkan antara ucapan apa yang kami nukilkan dari kitab Al Kafy karya Al Kulainy (kitab kaum sesat syi'ah) ini, dengan ajaran mangkul ala jama'ah354. Saya yakin orang yang hati nuraninya masih terpancar kecintaan terhadap kebenaran dan rasa takut akan neraka serta harapan untuk masuk surga akan berkata: Sesungguhnya ajaran ini adalah sama dan tidak ada bedanya
...subhanallah...wallallahul musta'an...

kesimpulan

Walhasil, sebenarnyalah tujuan yang dikehendaki oleh Sang amir pendiri jamaah354 dengan metode MMM, adalah agar murid selamanya akan terikat dengan sang guru dan sang imam, sehingga ia tidak memiliki kemandirian di dalam memperoleh ilmu dengan muthola'ah kitab-kitab ataupun mencari kitab-kitab rujukan apalagi belajar kepada guru lain walaupun juga memiliki isnad, kecuali dengan persyaratan yang rumit, misalnya harus mendapatkan ijin dari sang imam. Dan agar selamanya sang murid tidak akan pernah tahu kesalahan sang guru, karena semua ilmu bersumber dari mulutnya, dan perkara ini tidaklah pernah dinukil dari pemahaman ulama ahlussunnah tetapi dinukil dari para ulama tarekat sufiyah dan syi'ah... Wallohu a'lam bisshawab...


berkata syaikhul islam ibnu taimiyyah rahimahullah:
ahlul bid'ah (mereka) berhujjah dengan sebuah dalil, tapi padahal dalil tersebut menghujat dirinya...”



BANTAHAN MANGKUL BAGIAN 2

3. Kajian keyakinan yang ketiga, bahwa dasar pendalilan jama'ah354 tentang mangkul berkisar antara lemah dan tidak pada tempatnya (di ra’yu). Yaitu:






Pertama,
Firman Allah Ta’ala:

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِه ِ() إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَه ُ() ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ()

 “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya.” [Al Qiyamah:16-19]

وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ

“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu.” [Thaha:114]
Kajian
Ibnu Katsir mengatakan:

firman Allah ولا تعجل بالقرآن seperti firman Allah dalam surat (al Qiyamah)
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِه ِ() إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَه ُ() ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
terdapat riwayat dalam kitab Ash Shahih dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami usaha yang payah dalam menghafal wahyu, sehingga beliau menggerak-gerakkan lidahnya (untuk menghafal-pent), maka Allah turunkan ayat ini. Yakni bahwa Nabi dulu, jika datang kepada beliau Malaikat Jibril dengan wahyu maka setiap kali Jibril mengucapkan satu ayat Nabi menirukannya karena semangatnya untuk menghafal, maka Allah bimbing kepada yang lebih mudah dan ringan supaya tidak berat baginya, sehingga Allah berfirman (yang artinya): “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” Yakni, Kami jadikan itu hafal di dadamu, lalu kamu (nanti) bacakan kepada umat manusia dan kamu tidak akan lupa sedikitpun. “Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Dan dalam ayat ini, Allah berfirman(artinya) : “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu”.Yakni diamlah kamu dan dengarkan, jika malaikat selesai membacakannya kepadamu maka bacalah setelahnya …[Tafsir Ibnu Katsir : 3/175]. Jadi ayat ini menerangkan bagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerima wahyu dan bahwa nabi disuruh membaca setelah bacaannya Jibril. Namun jama'ah354 menyimpulkan bahwa kalau begitu harus mangkul dalam belajar, kalau tidak maka tidak sah. Pertanyaan kami, mana yang mengatakan bahwa jika tidak demikian, maka tidak sah?? Bahkan sampai dianggap kafir??.
Lalu seandainya cara demikian itu wajib tentu Nabi akan praktekkan kepada semua orang, tapi ternyata tidak, buktinya surat-menyurat Nabi dengan para raja. Kemudian tentu para Sahabat juga akan mengikutinya, tapi ternyata tidak buktinya surat menyurat mereka [lihat dalam pembahasan Mukatabah di atas dan al Wijadah]. Lihat pula bagaimana ulama mengambil pelajaran dari ayat itu. Syaikh Abdurrahman As Sa’dy mengatakan: “Dalam ayat ini ada adab menuntut ilmu agar seorang murid jangan memotong guru dalam masalah yang sedang dia mulai terangkan, lalu jika guru selesai maka baru ia bertanya yang belum paham”.
Demikian pula jika di awal penjelasan ada yang mengharuskan untuk dibantah atau dinilai baik, maka jangan langsung dibantah atau dinyatakan diterima sampai ia selesai menjelaskannya, supaya jelas yang benar dan yang salah …” [Tafsir as Sa'dy : 899, lihat pula hal. 514].
Tidak ada faidah yang diambil dari ayat itu bahwa ilmu itu wajib mangkul, dimana kalian dari penjelasan ulama tafsir, justru kalian tafsiri dari diri kalian sendiri!!



Kedua,Firman Allah Ta’ala:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmunya sesungguhnya pendengaran, pengelihatan, dan hati seluruhnya itu akan ditanya tentangnya” [al Isra:36]
Kajian
Tafsir ayat ini, Qatadah mengatakan: “Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.” Al hafidz Ibnu Katsir mengatakan: “Kandungan tafsir yang mereka (para ulama) sebutkan adalah bahwa Allah melarang untuk berbicara tanpa ilmu bahkan sekedar dengan sangkaan yang itu hanyalah perkiraan dan khayalan [Tafsir Ibnu Katsir:3/43] demikian tafsir para ulama. Maka dari sisi mana dan atas dasar tafsir siapa ayat ini sebagai dasar sistem mangkul ala 354 ?? Sementara para ulama’ tidak kenal sama sekali sistem mangkul seperti itu..!



Ketiga,

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

Barangsiapa membaca/mengartikan Al Quran dengan pendapatnya sendiri (tanpa mangkul), walaupun benar maka sungguh-sungguh hukumnya tetap salah.” (HR Abu Daud) (Ini terjemahan jama'ah 354)
[Arti yang benar lebih umum dari pada itu mencakup menafsiri al Quran. Ubaidullah al Mubarakfuri mengatakan: “Yakni, berbicara tentang lafadznya, bacaanya, maknanya dan kandungannya.” [Mir'atul mafatif syarh Misykatul Mashabih:1/330]-pen]
Kajian
Hadits ini
lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (Kitabul 'Ilm:4/43), Tirmidzi (5/184), Nasa’i (Sunan Kubra kitab Fadhailul Quran:5/31), Ibnu Jarir at Thabari (dalam tafsirnya:1/25). Semuanya melalui jalan (sanad yang sampai kepada) Suhail bin Mihran bin Abi Hazm al Qutha’i. [Dalam kitab Taqributtahdzib: (kunyahnya) Abu Abdillah dikatakan pula bahwa ayahnya adalah Abdullah al Qutha'i - pen] Dari Abu ‘Imran (Abdul Malik bin Habib) al Jauni, dari Jundab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Nabi mengatakan:…Hadist tersebut ‘illahnya pada Suhail bin Mihran bin Abi Hazm al Qutha’i. Imam Ahmad, Ibnu Ma’in, al Bukhari dan yang lain mencacatnya (Tahdzibut tahdzib:4/261) dan Ibnu Hajar mengatakan: Dha’if (lemah). (Taqribut tahdzib:421). Demikian, sanad hadits ini lemah karena ada seorang rawi yang dha’if.
Asy syaikh naashiruddin al Albani mengatakan tentang hadits ini: “Dha’if” [Dha'if, Sunan Abu Dawud:3652, hal.294 dan Miyskatul Mashabih, no:235], al Baihaqi mengatakan: Pada hadits ini ada kritikan ['Aunul Ma'bud:10/85].
Mana bukti kebenaran mangkul kalian dari rasulullah?? Justru dalil yang dijadikan hujjah mereka, adalah dalil yang tidak bersumber dari rasulullah.



Keempat,

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa membaca Al Quran tanpa berilmu atau manqul maka hendaknya menempati tempat duduknya di neraka’ (HR Tirmidzi) (Ini terjemah jama'ah354)
[Terjemah yang benar bukan membaca bahkan lebih umum dari pada itu termasuk menafsiri atau menerjemahkannya, lihat al Kifayah fi 'Ilmirriwayah: hal 343-pen]
Kajian
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud:
[kitabul Ilm ], At Tirmidzi: 5/183 dan beliau mengatakan: “Hasan Shahih”, An Nasa’i dalam Sunan al Kubra : [kitab Fadhailil Quran:5/31], Ahmad 1/233, 323, 293 [Demikian disebutkan oleh al Mizzi dalam Tuhfatul asyraf:4/423 demikian pula Ibnu Hajar dalam an Nukatudhiraf:4/423, sementara tidak saya dapati dalam sunan Abu Dawud di Kitabul 'Ilm kemudian saya dapati asy Syaikh Ubaidullah al Mubarakfuri mengatakan dalam kitabnya Mir'atul Mafatih:1/331: “Saya tidak mendapatinya dalam Sunan Abu Dawud, namun nampak dalam Mukhtashor Jami' al Mawarits karya al Mizzi demikian pula al 'Iraqi dalam takhrijnya terhadap Ihya' bahwa hadits tersebut dalam riwayat Abu Dawud Kitabul 'ilm dalam sunannya melalui riwayat Ibnul 'Abd… (Lihat, al Mughni 'An Hamlil asfar Juz:1/29 no:101 cet maktabah dar thabariyyah-pent) Ibnul 'Abd adalah salah satu periwayat sunan Abu Dawud. -pen] , 327 dan ad Darimi dalam Musnadnya : 1/76, tetapi dengan matan yang lain. Dan Ibnu Jarir at Thabari dalam Tafsirnya:1/34, semuanya melalui jalan Abdul A’la dari Said bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas. Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengatakan:….(hadits tersebut). Abdul A’la dalam sanad tersebut adalah Ats Tsa’labi, Ibnu Hajar mengatakan: “Shaduqun Yahim”, yakni hafalannya tidak begitu kuat dan suka keliru.”
Hadits ini diriwayatkan juga secara mauquf yakni hanya sampai kepada Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari dua jalan yang:
pertama: Muhammad bin Humaid dari al hakam bin Basyir dari ‘Amr bin Qois al Mula’i dari Abdul a’la dengan sanad tersebut di atas tapi sampai kepada Ibnu Abbas saja.
Kedua: Dari Ibnu Humaid dari Jarir, dari Laits, dari Bakr, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Ibnu Hajar mengatakan: Ibnul Qhotton menshahihkannya
[An Nukatudhiraf: 4/423]. Asy Syaikh al Albani mendhaifkannya dalam Misykatul Mashabih [No:234 Juz:1/79]. Lalu saya dapati beliau mentakhrij hadits ini panjang lebar yang berakhir dengan kesimpulan Dha’if dan membantah yang menshahihkannya dalam kitabnya Silsilah al Ahadits Adh Dhaifah : 4/265, no:1783 , silahkan dilihat.
Demikian derajat hadits ini, seandainyapun shahih, maka bukan artinya harus mangkul seperti dipahami dan diterjemahkan demikian oleh jama'ah 354, tidak ada kata mangkul dan tidak mengandung makna manqul sama sekali. Arti yang benar pada hadits pertama (dengan pendapatnya) dan pada hadits kedua (tanpa ilmu) tetapi mereka –jama'ah 354- menafsirinya dengan tanpa mangkul, bukankah ini memanipulasi makna hadits. Kalau begitu apa sebetulnya makna hadits itu bila shahih, untuk itu kami akan nukilkan penjelasan ulama.
Dalam kitab Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud disebutkan: “(dengan ra’yunya/pendapatnya) yakni sekedar dengan akalnya dan dari dirinya sendiri tanpa meneliti ucapan para Imam dari ulama ahli bahasa Arab yang tidak sesuai dengan kaidah syar’iyyah, bahkan dia sesuaikan dengan akalnya, padahal (pemahaman terhadap ayat atau maknanya) tergantung pada naqli. [10/85] Al Baihaqi mengatakan: “Jika hadits ini shahih, maka Nabi memaksudkan –wallahu a’lam- pendapat akal yang lebih dominan di qalbunya tanpa dalil yang mendukungnya. Adapun pendapat yang didukung oleh dalil maka boleh. Beliau juga mengatakan, bisa jadi maksudnya orang yang mengatakan dengan pendapat akalnya tanpa mengetahui prinsip-prinsip ilmu dan cabang-cabangnya [idem].
Makanya, kami peringatkan jangan terkungkung pada kitab himpunan saja, lihat buku/kitab ulama, syarah kutub sittah dari ulama, bukan syarah ‘PAKU BUMI’ dan imam jama'ah 354 saja. Para ulama yang men-syarah Kutubus Sittah itu, mereka punya sanad sampai ke Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sanadnya lebih tinggi dan lebih shahih – Insya Allah – .
Dengan demikian ra’yu itu ada dua macam:
1.
Ra’yu yang sesuai dengan bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah dengan memperhatikan seluruh syarat-syarat tafsir. Maka menafsiri al quran dengan itu boleh.
2. Ra’yu tidak sesuai dengan aturan bahasa Arab, tidak sesuai dengan dalil syar’i serta tidak memenuhi syarat-syarat tafsir, maka ini tidak boleh [At Tafsir wal Mufassirun:1/264]
Ibnu Qoyyim juga membagi ra’yu menjadi dua, yang terpuji dan yang tercela
[lihat Al Intishor li Ahlil Hadits hal. 23-34, lihat pula hal. 13 dan At Tafsir wal Mufassirun:1/264]. Dan terakhir simaklah ucapan An Naisaburi: “Tidak boleh hadits ini dimaksudkan bahwa; Jangan sampai seorang pun mengatakan pada Al Quran kecuali apa yang ia dengar (yaitu mangkul dalam istilah jama'ah 354-pent)”. Karena para Sahabat mereka telah menafsirkan Al Quran dan mereka berselisih pendapat pada beberapa masalah dan tidaklah semua yang mereka katakan itu mereka dengar dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam…[Mir'atul Mafatih:1/330].idem-
Bukankah ini pukulan telak buat kalian wahai para pengikut jama’ah354?! Sungguh tafsir kalian sangat bertentangan dengan ulama’. Maka benar apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah bahwa ‘ahli bid’ah berhujjah dengan sebuah dalil, padahal dalil itu menghujat mereka’.


Kelima,
تعمل هذه الأمة برهة بكتاب الله ثم تعمل برهة بسنة رسول الله ثم تعمل بعد ذلك بالرأي فإذا عملوا بالرأي ضلوا
Umat ini sesaat akan mengamalkan berdasarkan kitab Allah kemudian sesaat mengamalkan berdasarkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian setelah itu mengerjakan dengan pendapatnya(dengan ra’yu) maka jika mereka mengamalkan dengan pendapat mereka sesat’. [HR Abu Ya'la]
Kajian
Hadits ini
dha'if/lemah, diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil Ilm wa Fadhlihi no:1998, 1999, dari sahabat Abu Hurairah, Abul Aysbal mengatakan: “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya:10/240 no:5856″ dan Al Khatib meriwayatkan dari jalannya dalam kitab Al Faqih wal Mutafaqqih:2/179, kata beliau : “Telah mengkhabarkan kepada kami al Hudzail bin Ibrahim al Jummani, ia mengatakan: Telah mengkhabarkan kepada kami Utsman bin Abdurrahman dengannya”. Sanad ini lemah sekali. Utsman bin Abdurrahman az Zuhri al Waqqoshi disepakati, bahwa haditsnya dibuang bahkan Ibnu Ma’in menganggapnya pemalsu hadits demikian pula dikatakan oleh al Haitsami dalam al Majma’:1/179. Ada mutaba’ah (dukungan) buat Utsman bin Abdurrahman yaitu dari Hammad bin Yahya al Abah, Ibnu Hajar mengatakan: “Hafalannya kurang kuat dan suka keliru”, diriwayatkan pula oleh al Khatib dalam Al Faqih wal Mutafaqqih :2/179 dari dua jalan melalui Jubarah. Dan disana ada ‘illah (kelemahan lain) yaitu lemahnya Jubarah Ibnu al Mughallis. Jadi hadits itu dengan dua jalannya tetap tidak shahih Wallahu a’lam [lihat Jami Bayanil Ilm wa Fadhlihi: 2/1039-1040 dengan tahqiq Abul Asybal]
Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Ulama berbeda pendapat dalam hal Ra’yu yang tercela tersebut, sebagian kelompok mengatakan: Ra’yu yang tercela adalah bid’ah yang menyelisihi sunnah dalam hal aqidah, serta yang lain -mereka adalah mayoritas ahlul ilmi- mengatakan: Adalah berbicara dalam hukum syari’at agama dengan sekedar anggapan baik dan prasangka.” [lihat selengkapnya dalam Jami Bayanil Ilm wa Fadhlihi:2/1052,1054]. Demikian pendapat ulama tentang ra’yu yang dimaksud tidak satupun menafsirinya ‘tidak mangkul’. [lihat pula kitab Mir'atul Mafatih]
Keenam,
تسمعون ويسمع منكم ويسمع ممن سمع منكم
Kalian mendengar dan akan didengarkan dari kalian dan akan didengarkan dari orang yang mendengarkan dari kalian’
KajianHadits ini diriwayatkan Abu Dawud: 3659, Ahmad:1/321, Ibnu Hibban:1/263 Al Hakim:195 al Khatib dalam Syaraf Ashabul Hadits dan Ar Ramahurmuzi dalam Muhadditsul Fashil:92, semuanya melalui jalan Al A’masy dari Abdullah bin Abdullah ar Razi, dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengatakan ….(Hadits itu)… Diriwayatkan pula melalui jalan lain oleh Al Khatib dalam Syarof Ashabul Hadits dan Ar Ramahurmuzi dalam Muhadditsul Fashil:91, Al Bazzar dan At Tabrani. [lihat perinciannya dalam Silsilah al Ahadits Ash Shahihah, no:1784]
Al Hakim mengatakan: “Shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim dan tidak diriwayatkan oleh keduanya, tidak ada ‘iilah padanya ” [Ithaful Maharah:7/192] dan disetujui oleh Adz Dzahabi. Namun Asy Syaikh al Albani tidak setuju bila dikatakan sesuai dengan syarat al Bukhari dan Muslim, karena Abdullah bin Abdullah bukan merupakan rawi Bukhari dan Muslim, namun hadits itu tetap Shahih sedang al ‘Ala’i menghasankannya. [lihat Shahih Sunan Abu Dawud:3659 dan Ash Shahihah:1784]
Demikian derajat hadits itu, tapi dimanakah yang menunjukan bahwa musnad muttashil lebih-lebih ‘manqul’ ala 354 itu syarat sahnya ilmu?! Bukankah yang namanya syarat di dalam ilmu Ushul Fiqih artinya “Bila syarat sesuatu tidak terpenuhi maka sesuatu itu tidak sah”?! Manakah dalam hadits itu yang menunjukan bahwa bila tidak manqul maka ilmu itu tidak sah?? Hadits itu hanya berisi anjuran atau perintah untuk menyampaikan, tidak terdapat padanya syarat sahnya ilmu itu harus dengan manqul, oleh karenaya Abu Dawud memberikan judul pada hadits ini ‘Bab Keutamaan Menyebarkan Ilmu’. Dan para ulama tidak memahami hadits ini seperti pemahaman jama'ah 354 buktinya Abu Dawud Ibnu Hibban al Hakim dan ulama yang kita sebut di atas, tidak ada yang berpemahaman seperti jama'ah 354.
Ketujuh,
الإسناد من الدين ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Isnad/sanad itu termasuk dari agama kalaulah bukan karena sanad tentu sembarang orang akan mengatakan semaunya’.
KajianIni adalah ucapan Abdullah Ibnul Mubarak diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 dan ar Ramahurmuzi dalam al Muhadditsul Fashil:96 dan al Khotib dalam Syaraf Ashhabul Hadits.
Mereka –jama'ah 354- menganggap ucapan itu sebagai dasar teori mangkul, ini tentu tidak sesuai dengan nash ucapan Ibnul Mubarak itu sendiri. Ucapan itu menerangkan keutamaan sanad dan sanad itu lebih umum dari pengertian manqul ala 354 di antara sanad adalah Al Mukatabah seperti yang kami terangkan di atas. Dan tidak mengandung sama sekali keharusan untuk mangkul, juga tidak ada larangan mengambil ilmu tanpa mangkul, demikian pula beliau ucapkan kata-kata ini di zaman beliau dan beliau meninggal pada tahun 181 H. Berbeda keadaannya dengan keadaan sekarang, oleh karenanya kita dapati para ulama mengatakan bahwa mengamalkan ilmu yang diambil dengan al wijadah, padahal itu tidak sekuat al Mukatabah wajib sebagaimana perincian dalam bahasan al wijadah di atas.
Kedelapan,
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذوا دينكم
Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah oleh kalian dari mana kalian mengambil agama kalian.’
KajianIni adalah ucapan Muhammd bin Sirin diriwayatkan Imam Muslim dalam Muqoddimah Shahihnya:[26, 1/44] Atsar (ucapan Tabi’in) ini mengandung bagaimana memilih guru agama yaitu memilih yang baik yang sesuai dengan sunnah Nabi, dan tidak sama sekali mengandung keharusan untuk mangkul serta tidak ada di dalamnya larangan mengambil ilmu tanpa mangkul.


Kesimpulan:
Demikian dalil-dalil mereka, semuanya tidak tepat sebagai dalil. Adapun ayat Al Quran mereka tafsiri dari diri mereka sendiri, berbeda dengan ulama tafsir, makanya mereka tidak menyebutkan referensi tafsir dalam menerangkan ayat-ayat itu. Nah, bukankah ini artinya menafsiri Al Quran dengan ra’yu wahai 354 ?!! Mereka menuduh orang lain bicara hal agama dengan ra’yu, ternyata justru diri merekalah yang melakukannya…!subhanallah…
Dalil-dalil yang kalian pakai untuk menyerang selain golongan kalian justru itu senjata makan tuan dan bumerang bagi kalian sendiri. Kalian mengharuskan mangkul dan melarang dengan ra’yu, pada kenyataannya bahkan kalianlah yang memakai ra’yu dalam agama ini, dimana kalian tafsirkan ayat dan hadits semau kalian dan tidak sesuai dengan pemahaman ulama. Dan kalau mereka (jama'ah 354) mengkafirkan seseorang yang mereka anggap pakai ra’yu, tidakkah vonis kafir itu juga mengenai mereka sendiri?! Karena mereka juga pakai ra’yu… Ingat ketika kau vonis kafir seseorang muslim dan kau tunjuk dengan jari telunjukmu bukankah 4 jarimu menunjuk pada dirimu sendiri?!
Saya tidak mengkafirkan kalian, namun saya hanya ingin mengingatkan bahayanya mengkafirkan seseorang, yang bisa jadi vonis kekafiran itu justru akan kembali kepada dirinya sendiri seperti dalam hadits Nabi:
أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما
Barangsiapa mengatakan kepada Saudaranya : Wahai orang kafir maka (hukum) tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya” [HR Bukhari dan Muslim…]
Adapun dalil dari hadits maka sebagiannya shahih dan sebagiannya dha’if dan semuanya mereka pahami dengan pemahaman yang salah, sehingga menjadi bumerang buat diri mereka sendiri. Terakhir dalil dari ucapan para ulama yang lagi-lagi mereka tafsiri sesuai kepentingan mereka. Kalaupun seandainya maksud ulama itu sesuai dengan maksud mereka –dan itu tidak mungkin- maka ucapan ulama bukan hujjah! Hujjah itu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam.



Contoh Hadits-Hadits Dha’if yang mereka amalkan
Sedikit kita koreksi buku ‘Himpunan’ susunan jama'ah 354 himpunan Kitabush Sholah maka kita akan dapati beberapa hadits dha’if, bahkan ada yang maudhu’ diantaranya:
...إقرؤوا على موتاكم يس
Bacalah pada mayit-mayit kalian surat Yasin” [hal.147].
Hadits ini Riwayat Abu Dawud Ibnu Majah dan lain-lain, didalamnya terdapat tiga cacat:
- Kemajhulan (tidak ada rekomendasi/komentar dari ulama ahli hadits) rawinya yang bernama Abu Utsman.
- Kemajhulan ayahnya.
- Idlthirab (kegoncangan pada sanadnya)
Hadit ini didha’ifkan oleh Ibnul Qhaththan, Ad Daruqhuthni dan Al Albani. Lihat perinciannya dalam
Irwa’ul Ghalil karya al Albani hadits no:688.

...من قرأ يس في ليلة أصبح مغفورا له
Barangsiapa yang membaca Yasin dalam satu malam maka di pagi harinya dalam keadaan diampuni dosanya”, himpunan Kitabush shalah, hal.146.
Asy Syaikh al Albani mendho’ifkannya dalam Dha’iful Jami’:5787.
...من قرأ يس كتب الله بقرائتها قرآءة القرآن عشر مرات
Barangsiapa yang membaca Yasin maka Allah tuliskan dengan membacanya sama dengan membaca Al Quran 10 kali”, himpunan kitabus shalah hal.146.
Asy Syaikh al Albani mengatakan: Maudhu’ (palsu) karena ada rawi yang bernama Harun Abi Muhammad, azd Dzahabi menuduhnya sebagai pendusta [lihat perinciannya dalam Silsilah al Ahadits adh Dhaifah, no:169]
كان إذا أفطر قال اللهم لك صمت وعلى رزقك افطرت…
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bila berbuka membaca Allahumma laka shumtu…” , Kitabush shalah hal.134.
Hadits ini Riwayat Abu Dawud, mursal dan mursal termasuk dha’if. Mursal karena Muadz bin Zuhrah bukan sahabat, lalu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam…, bahkan dia juga tergolong majhul. [lihat perinciannya dalam Irwa'ul Ghalil no:919], asy syaikh al Albani mengatakan: “Dha’if”. Mana persyaratan Musnad Muttashil (MM) di hadits ini dan hadits setelahnya wahai kaum 354?!
Hadits khutbah Jum’ah hal 104 dan seterusnya, dari riwayat Abu ‘Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud, ternyata lemah, karena sanadnya terputus antara keduanya, dimana Abu Ubaidah tidak mendengar dari Abdullah bin Mas’ud. Anehnya mereka sendiri menyebutkan ucapan Abu Abdurrahman/Imam An Nasa’i dalam hal ini, lalu mengapa mereka tetap memakai hadits itu?! Lihat hal.105 :
... قال أبو عبد الرحمن أبو عبيدة لم يسمع من أبسه شيئا
Abu Abdurrahman (An Nasa’i) mengatakan: Abu Ubaidah tidak mendengar hadits dari ayahnya (Ibnu Mas’ud) sedikitpun”
Demikian pula hadits Asma wa Sifat pada hal.124 dan kita sudah terangkan sisi kelemahannya diatas.
Kemudian hadits yang sering mereka gunakan untuk mengikat anggotanya, yakni:
لا إسلام إلا بجماعة، ولا جماعة الا بإمارة، ولا إمارة إلا بطاعة.( رواه الدارمي)
tidak sah islam kecuali dengan berjama’ah, tidak sah jama’ah kecuali dengan amir, tidak sah amir kecuali dengan bai’at, dan tidak sah bai’at kecuali dengan taat”.[HR.addaromiy], kitabul imarah hal. 56
sanad ucapan Umar bin Khatthab rodiallahu’anhu bila ditinjau dari segi ilmu hadits, maka sanadnya lemah dengan dua sebab:
1. Sofwan bin Rustum majhul (tidak diketahui status kredibilitasnya), sebagaimana dinyatakan oleh Az Zahabi rahimahullah dalam kitabnya [Lisanul Mizan 3/191], dan disetujui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab [Mizanul I’itidal 3/433]. Al azdi berkata: (mungkarul hadits: hadits ini mungkar)
2. Inqitho’ antara Abdurrahman bin Maisarah dengan sahabat Tamim Ad Dary yang meriwayatkan ucapan sahabat Umar bin Khatthab ini.



Hadits shalat hifdzi, derajat haditsnya maudhu/palsu
Hadits itu berbunyi:
عن بن عباس أنه قال بينما نحن عند رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ جاءه علي بن أبي طالب فقال بأبي أنت وأمي تفلت هذا القرآن من صدري فما أجدني أقدر عليه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم يا أبا الحسن أفلا أعلمك كلمات ينفعك الله بهن وينفع بهن من علمته ويثبت ما تعلمت في صدرك قال أجل يا رسول الله فعلمني قال إذا كان ليلة الجمعة
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, sesungguhnya beliau berkata, “Suatu ketika kami disisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, ketika itu datang Ali ibn Abi Thalib, lalu Ali radhiyallahu’anhu berkata, “Dengan Bapakku Engkau dan Ibuku, telah hilang (hapalan) Al-Qur’an dari dadaku, sehingga aku benar-benar tidak menguasai al-Qur’an”. Berkata Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam, “Ya Abu Hasan, maukah engkau aku ajari suatu kalimat yang memberi manfaat Allah dengan kalimat itu sehingga kamu tidak akan mudah lupa pada apa-apa yang telah engkau pelajari?”. Ali berkata, “Ajarilah aku ya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam”. Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda, “Ketika tiba malam jum’at… dan seterusnya…sebuah hadits yang panjang”.
Hadits ini MUNGKAR bisa jadi MAUDHU’. Dikeluarkan oleh para ahli hadits, dari jalan Sulaiman ibn Abdurrahman Ad-Dimasyqi dari Walid ibn Muslim, menceritakan kepada kami Ibn Juraij dari Atho ibn Abi Rubaah dan Ikrimah maula Ibnu Abbas dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, yaitu oleh Imam Tirmidzi dalam Sunannya (5/363) no. 3570, pada bab fii du’aa’il hifdzi, Beliau berkata, “Hadits ini hasan gharib, tidak dikeluarkan kecuali dari hadits Al-Walid ibn Muslim”, Imam Al-Khathib dalam Al-Jami’ li Ahlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami’ (2/259) no. 1792 dan Imam Al-Hakim dalam Al-Mustadrak pada bab kitabus shalah attathowwu’ ,di akhir hadits beliau berkata, “Shahih dengan syarat syaikhain”. Dan hadits ini tidak seperti yang dikatakan oleh Tirmidizi atau Al-Hakim, bahkan didalamnya terdapat Walid ibn Muslim dia mudalis seperti yang ma’ruf. Syaikh Al-Muhadits Al-Albani mengatakan dalam Silsilah Adh-Dha’ifah (7/382) no. 3374, bahwa hadits ini dikeluarkan juga oleh Al-Ashbahani dalam At-Targhib (127/2), Ibnu Atsakir dalam Juz’a Akhbar Hafidz Al-Qur’an (Q 84/2-86-2) dan Adh-Dhiya dalam Al-Mukhtarah (65/64/1-2) dari jalan yang sama. Beliau berkata, “Hadits ini MUNGKAR”, sedangkan dalam Dha’if Sunan Tirmidzi beliau berkata, “MAUDHU’”. Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal jilid 2 biografi no. 3487, menyebutkan hadits ini sambil berkata “hadits ini MUNGKAR SEKALI”
Hadits ini sama sekali tidak bisa dikuatkan oleh hadits lain yang dikeluarkan dari jalan Muhammad ibn Ibrahim Al-Qurasiyu, menceritakan kepada kami Abu Shalih dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu, semisal hadits diatas, bahkan justru menguatkan kepalsuan hadits diatas. Hadits itu dikeluarkan oleh Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wa Lailah no. 572, Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir (11/367) no. 12036 dan Al-Aqili dalam Dhu’afa Al-Kabir (7/346) no. 1721.
Di dalam sanadnya terdapat Abu Shalih, dia adalah Ishaq ibn Najih Al-Malathi dia ini tertuduh telah berdusta. Ahmad ibn Hambal, Ibnu Ma’in dan selain mereka menganggapnya pendusta. Bukhari berkata, “MUNGKARUL HADITS”. Nasai berkata, “MATRUKUL HADITS”. Dia ini pernah mengaku meriwayatkan dari Ibn Juraij, maka bisa jadi dia lah pembuat hadits shalat hifdzi ini yang kemudian dikutip Walid ibn Muslim…wallahu waliyut taufiq…
Ini baru sekilas saja kita koreksi hadits himpunan pedoman mereka, ternyata didalamnya terdapat hadits-hadits yang dho’if bahkan maudlu. Apalagi kalau satu persatu dikoreksi…bagaimana mangkul kalian ini? Kalian mengatakan orang lain ilmunya tidak sah, hadits-haditsnya tidak sah, semuanya ditafsirkan dengan ra’yi..tapi kenapa justru sebaliknya??!
Perlu dikaji kembali bahwa syarat shahihnya hadits ada lima sebagaimana penjelasan pada halaman sebelumnya, sehingga tidak cukup dengan musnad atau muttashil saja, dan betapa banyak hadits yang musnad atau muttashil tapi dha’if atau bahkan maudhu’.