Rabu, 11 Januari 2012

BANTAHAN MANGKUL BAGIAN 1

BUAH PAHIT” SISTEM “MANGKUL354
(antara alQur'an, assunnah dan mangkul)


الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله وكفى بالله شهيداً، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له إقراراً به وتوحيداً، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليماً مزيدا. أما بعد:



Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan (dalam agama), sesungguhnya setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya dineraka.
Agama Islam adalah syari'at dan aqidah, yang dibangun diatasnya mutaba'tun nabiy(mengikuti nabi) dan masing-masing tidak dipisahkan, dan kali ini kami akan membawakan bahasan tentang ajaran “mangkul” ala jama'ah 354.
Untuk istilah yang satu ini kami tidak pernah mendengar dari satu ulama’ pun, dan tidak ada satu pun ulama’ yang memakai istilah dengan istilah “mangkul”. Silakan kalian mencarinya diberbagai al-hadits dan kitab-kitab para ulama’ istilah “mangkul” itu, kami yakin tidak akan ketemu, karena memang tidak ada. Istilah “mangkul” ini hanya ada di jockam 354. Hal ini tidak terlalu dipanjang lebarkan, tapi yang harus dipanjang lebarkan adalah bagaimana ajaran dan paham sesat mereka karena doktrin “mangkul” ini.

Definisi mangkul

Mangkul” secara bahasa diambil dari wazan naqola-yanqulu…yang artinya “dipindahkan”. Adapun secara istilah –istilah dari jama'ah 354- yaitu mengaji al-Qur’an dan al hadits wajib secara langsung seorang atau beberapa orang murid yang menerima dari seseorang atau beberapa orang guru dan gurunya tersebut asalnya menerima langsung dari gurunya dari gurunya lagi, sambung bersambung dan begitu seterusnya…sampai kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi maksud mereka syarat ilmu itu harus mangkul, musnad dan muttashil (disingkat MMM), kalau tidak terpenuhi syarat ini maka ilmu tersebut HARAM diamalkan dan semua ilmu itu ra’yu (sebagai contoh ilmu yang didapatnya hasil membaca kitab-kitab –alwijadah-) sampai alQur’an pun tidak boleh dibaca kalau belum mangkul dari gurunya…

Yang lebih parahnya lagi mereka menyatakan bahwa orang yang ilmunya masuk dalam kategori mangkul mereka (di Indonesia atau bahkan didunia) hanyalah KH.NUR HASAN , karena hanya dialah yang memiliki jalan sanad bersambung sampai rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga kaumnya diharamkan mengambil ilmu selain dari jalan kelompoknya. Kitab-kitab selain yang diajarkan oleh KH. Nur hasan maka tidak boleh dipelajari dan mengajarinya sekalipun orang tersebut menguasinya, alasannya karena belum ada yang memangkulkan…dan keyakinan ini mereka mendasarinya dengan dalil-dalil, tapi yang sesungguhnya tidak tepat dijadikan sebagai dalil.

Istilah “mangkul” dan praktek mangkul mereka ini –yang telah kami sebutkan diatas- sama sekali tidak pernah dikenal dikalangan para sahabat nabi dan juga dan generasi salaf setelah mereka, maka ini adalah sesuatu yang baru dalam agama. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh al imam al auza’i: “ilmu adalah apa yang datang dari sahabat-sahabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan sesuatu yang tidak datang dari mereka, maka itu bukanlah ilmu.”[lihat: kitabul jaami’ oleh ibnu abdil barr 2/29]
begitu pula sebagaimana yang dikatakan oleh syaikhul islam ibnu taimiyyah: “setiap pendapat yang dikatakan hanya oleh seseorang yang hidup dimasa ini dan tidak pernah dikatakan oleh seseorang pun yang terdahulu, maka itu salah.”
al Imam ahmad rahimahullah mengatakan:
jangan sampai engkau mengeluarkan sebuah pendapat dalam sebuah masalah yang engkau tidak punya pendahulu padanya.”[lihat: majmu’ fatawa 21/291]
dan sebagai bukti bahwa “mangkul” ini tidak dikenal pada masa sahabat adalah tidak ada satupun ulama’ahlussunnah masa sekarang yang mengenal istilah “mangkul” dan praktek “mangkul” dalam agamanya, maka tentunya kalau ini dikenal pada zaman sahabat dan generasi salaf setelahnya mesti para ulama’ itu telah mengetahuinya…atau apakah jama'ah 354 ini akan mengatakan “para ulama’ zaman sekarang itu adalah orang-orang yang bodoh, sehingga tidak tahu istilah mangkul?? Allahul musta’an…

Maka dari keyakinan mereka diatas, dapat kita simpulkan menjadi beberapa point:
  1. Mereka meyakini dalam mempelajari ajaran agama harus manqul musnad dan muttashil, bila tidak maka tidak sah ilmunya, ibadahnya ditolak dan masuk neraka.
  2. KH Nur Hasan mengaku bahwa dirinyalah satu-satunya jalur untuk menimba ilmu secara musnad muttashil di Indonesia bahkan di dunia., atas dasar itu ia mengharamkan untuk menimba ilmu dari jalur lain.
  3. Ia mendasari kayakinannnya itu dengan dalil-dalil, -yang sesungguhnya tidak tepat sebagai dalil.

Kajian atas Keyakinan dan Dalil-Dalil mereka
1. Kajian atas point pertama:
a. Keyakinannya bahwa ilmu tidak sah kecuali bila diperoleh dengan musnad mutashil dan manqul, adalah keyakinan yang tidak berdasarkan dalil, adapun dalil-dalil yang dia pakai berkisar antara lemah dan tidak tepat sebagai dalil. Seperti yang anda lihat insya allah.
b. Bahwa ini bertentangan dengan dalil-dalil syar’i yang menunjukan bahwa sampainya ilmu tidak mesti dengan “mankul”, bahkan kapan ilmu itu sampai kepadanya dan ilmu itu benar, maka ilmu itu adalah sah dan harus ia amalkan seperti firman Allah:

وأوحي إلي هذا القرآن لأنذركم به ومن بلغ

Dan diwahyukan kepadaku Al Quran ini untuk aku peringatkan kalian dengannya dan siapa saja yang Al Quran sampai padanya[Al An'am:19]
Mujahid mengatakan: dimanapun Al Quran datang maka ia sebagai penyeru dan pemberi peringatan. Kata (ومن بلغ) Ibnu Abbas menafsirkannya: “Dan siapa saja yang Al Quran sampai kepadanya, maka Al Quran sebagai pemberi peringatan baginya.”
Demikian pula ditafsirkan oleh Muhammad bin Ka’b, As Suddy [Tafsir at Thabari:5/162-163], Muqatil [Tafsir al Qurthubi:6/399], juga kata Ibnu Katsir [2/130]. Sebagian mengatakan : “Berarti bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan bagi orang yang sampai kepadanya Al Quran.” Asy Syinqithi mengatakan: “Ayat mulia ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pemberi peringatan bagi setiap orang yang Al Quran sampai kepadanya, siapapun dia. Dan dipahami dari ayat ini bahwa peringatan ini bersifat umum bagi semua yang sampai kepadanya Al Quran, juga bahwa setiap yang sampai padanya Al Quran dan tidak beriman dengannya maka ia di Neraka”. [Tafsir Adhwa'ul Bayan:2/188 lihat pula tafsir-tafsir di atas-pen] Maka dari tafsir-tafsir para ulama di atas – jelas bahwa tidak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa sampainya ilmu harus dengan musnad muttashil atau bahkan manqul ala jama'ah 354.
Bahkan siapa saja yang sampai padanya Al Quran dengan riwayat atau tidak, selama itu memang ayat Al Quran, maka ia harus beriman dengannya apabila tidak maka nerakalah tempatnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:بلغوا عني ولو آية Sampaikan dariku walaupun satu kalimat” [Shahih, HR Ahmad Bukhari dan Tirmidzi]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam TIDAK mengharuskan cara mangkul ala jama'ah 354 dalam penyampaian ajarannya.
c. Keyakinan mereka bertentangan dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau menyampaikan ilmu dengan surat kepada para raja. Seperti yang dikisahkan sahabat Anas bin Malik:

(( عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإِلَى النَّجَاشِيِّ وَإِلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ بِالنَّجَاشِيِّ الَّذِي صَلَّى عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ))

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menulis surat kepada Kisra, Qaishar, Najasyi dan kepada selurus penguasa, mengajak mereka kepada Allah. bukan an Najasyi yang Nabi menshalatinya” [Shahih, HR Muslim, Kitabul Jihad….no:4585 cet Darul Ma'rifah] (Surat Nabi kepada Heraqlius) [Shahih, HR Bukhari no:7 dan Muslim: 4583].
An Nawawi mengatakan ketika mensyarah hadits ini:
Hadits ini (menunjukkan) bolehnya beramal dengan (isi) surat.” [Syarh Muslim:12/330] Surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada raja Bahrain, lalu kepada Kisra [Shahih, HR al Bukhari, Fathul Bari:1/154]dan banyak lagi surat beliau kepada raja atau tokoh-tokoh masyarakat, bisa anda lihat perinciannya dalam kitab Zadul Ma’ad:1/116120 karya Ibnul Qoyyim [Cet Ar Risalah ke 30 Thn. 1417/1997]
Surat-menyurat Nabi ini tentu tidak sah menurut kaidah mankulnya KH. Nur Hasan Ubaidah. Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap itu sah, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerima Islam – mereka yang masuk Islam – karena surat itu tidak menganggap mereka kafir karena tidak manqul. Dan Nabi menganggap surat itu sebagai hujjah atas mereka yang tidak masuk Islam setelah datangnya surat itu, sehingga tiada alasan lagi jika tetap kafir, seandainya sistem surat-menyurat itu tidak sah, mengapa Nabi menganggapnya sebagai hujjah atas mereka??.
Kemudian setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, cara inipun dipakai oleh para sahabatnya seperti surat Umar kepada Abu Musa al ‘Asy ‘ari yang terdapat didalamnya hukum-hukum yang berkaitan dengan Qadha’ [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, ad Daruqhutni al Baihaqi dan lain-lain `dishahihkan oleh al Albani dalam Irwaul Ghalil:8/241, Ahmad Syakir dan lain-lain -pen], lihat perinciannya dalam buku khusus membahas masalah ini berjudul رسالة عمر ابن الخطاب إلى أبي موسى الأشعري في القضاء و آدابه رواية ودراية oleh Ahmad bin Umar bin Salim Bazmul.], Aisyah menulis surat kepada Hisyam bin Urwah berisi tentang shalat [al Kifayah fi 'Ilmirriwayah:343], Mu’awiyahpun menulis kepada al Mughirah bin Syu’bah tentang dzikir setelah shalat [Shahih, HR Bukhari dan Muslim], Utsman bin Affan mengirim mushaf ke pelosok-pelosok [Riwayat al Bukhari secara Mu'allaq:1/153 dan secara Musnad:9/11], belum lagi para ulama setelah mereka. Namun semuanya ini dalam konsep mankulnya KH. Nur Hasan Ubaidah tidak sah, berarti teori ‘mankul anda’ justru tidak manqul dari mereka, sebab ternyata menurut mereka semua sah. Dan pembaca akan lihat nanti – Insya Allah – komentar para ulama tentang ini.
Surat-menyurat ini lalu diistilahkan dengan MUKATABAH, dan para ulama ahlul hadits menjadikannya sebagai salah satu tata cara tahammul wal ada’ (mengambil dan menyampaikan hadits), bahkan mereka menganggap ini adalah cara yang musnad dan muttashil, walaupun tidak diiringi dengan ijazah.
Ibnus Sholah mengatakan: “Itulah pendapat yang benar dan masyhur diatara ahlul hadits…dan itu diamalkan oleh mereka serta dianggap sebagai musnad dan maushul (bersambung) [Ulumul Hadits:84]. As Sakhowi juga mengatakan: “Cara itu benar menurut pendapat yang shahih dan masyhur menurut ahlul hadits …. dan mereka berijma’ (sepakat) untuk mengamalkan kandungan haditsnya serta mereka menganggapnya musnad tanpa ada khilaf (perselisihan) yang diketahui.” [Fathul Mughits:3/5]
Al Khatib al Baghdadi menyebutkan:
Dan sungguh surat-surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi agama yang harus dianut dan mengamalkan isinya adalah wajib bagi umat manusia ini, demikian pula surat-surat Abu Bakar, Umar dan selain keduanya dari para Khulafar ar Rasyidin maka itu harus diamalkan isinya. Juga surat seorang hakim kepada hakim yang lainnya dijadikan sebagai dasar hukum dan diamalkan.’ [al Kifayah :345]. Jadi, ini adalah cara yang benar dan harus diamalkan, selama kita tahu kebenaran tulisan tersebut maka sudah cukup. [lihat, al Baitsul hatsits:123 dan Fathul mughits:3/11]
Imam al Bukhari pun mensahkan cara ini, dimana beliau membuat sebuah bab dalam kitab Shahihnya berjudul : “Bab (riwayat-riwayat) yang tersebut dalam hal munawalah dan surat/tulisan ulama yang berisi ilmu ke berbagai negeri.” [Fathul Bari:1/153]
Kalaulah ‘mankul kalian’ dimankul dari para ulama penulis Kutubus Sittah, mengapa Imam Bukhari menyelisihi kalian?? Apa kalian cukupkan dengan kitab-kitab ‘himpunan’, sehingga tidak membaca Shahih Bukhari walaupun ada di bab-bab awal, sehingga hal ini terlewatkan oleh kalian?? Demikian pula Imam Nasa’i menyelisihi kalian, karena beliau ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama Al Harits Ibnu Miskin beliau hanya duduk di balik pintu, karena tidak boleh mengikuti kajian haditsnya. Sebabnya, karena waktu itu imam Nasa’i pakai pakaian yang membuat curiga al Harits ibnu Miskin dan ketika itu al Harits takut pada urusan-urusan yang berkaitan dengan penguasa sehingga beliau khawatir imam Nasa’i sebagai mata-mata maka beliau melarangnya [Siyar A'lam an Nubala:14/130], sehingga hanya mendengar di luar majlis. Oleh karenanya ketika beliau meriwayatkan dari guru tersebut beliau katakan: حدثنا الحارث بن مسكين قراءة عليه وأنا أسمعAl Harits Ibnu Miskin memberitakan kepada kami, dengan cara dibacakan kepada beliau dan saya mendengarnya” dan anehnya riwayat semacam ini ada pada kitab himpunan kalian Kitabush Sholah hal. 4, “Apa kalian tidak menyadari apa maksudnya??”
d. Istilah ‘manqul’ sebagai salah satu bidang ilmu ini adalah istilah yang benar-benar baru dan adanya di Indonesia pada Jama’ah 354. Ini menunjukan bahwa ini bukan berasal dari para ulama. Adapun mankul sendiri adalah bahasa Arab yang berarti “dinukil” atau “dipindah”, dan ini sebagaimana bahasa Arab yang lain dipakai dalam pembicaraan. Namun hal itu hanya sebatas pada ungkapan bahasa -bukan sebagai istilah atau ilmu tersendiri yang memiliki pengertian khusus – apalagi konsekwensi khusus dan amat berbahaya.
e. Adapun musnad dan mutashil, memang ada dalam ilmu Musthalah dan masing masing punya definisi tersendiri. Musnad salah satu artinya dalam ilmu mushtolahul hadits adalah ‘Setiap hadits yang sampai kepada Nabi dan sanadnya bersambung/mutashil[lihat:Min atyabil manhi fi 'ilmil Musthalah:8]. Akan tetapi perlu diketahui bahwa persyaratan musnad ini adalah persyaratan dalam periwayatan hadits dari Nabi, bukan persyaratan mengamalkan ilmu. Harus dibedakan antara keduanya, tidak bisa disamakan antara riwayat dan pengamalan. Sebagaimana akan anda lihat nanti – Insya Allah –.
f. Musnad muttashil pun bukan satu-satunya syarat dalam riwayat hadits. Karena hadits yang shahih itu harus terpenuhi padanya 5 syarat yakni:
pertama: diriwayatkan oleh seorang yang adil [adil dalam pengertian ilmu mushtalah adalah seorang muslim, baligh, berakal selamat dari kefasikan dan hal-hal yang mencacat kehormatannya (muru'ah) [Min Atyabil Manhi fi Ilmil Musthalah:13]-pen,
kedua: yakni yang sempurna hafalannya atau penjagaannya terhadap haditsnya,
ketiga, sanadnya bersambung,
keempat, tidak syadz [Syadz artinya, seorang rawi yang bisa diterima menyelisi yang lebih utama dari dirinya [nuzhatun nadzor] yakni dalam meriwayatkan hadits bertentangan dengan rawi yang lebih kuat darinya atau lebih banyak jumlahnya.



Kelima, tidak mu'allal [Sedang mu’allal artinya memiliki cacat atau penyakit yang tersembunyi sehingga tampaknya tidak berpenyakit padahal penyakitnya itu membuat hadits itu lemah. -pen].

Kalaupun benar –padahal salah- apa yang dikatakan oleh KH Nurhasan dan juga pengikutnya bahwa ilmu harus musnad muttashil, mana syarat-syarat yang lain ? Kenapa hanya satu yang diambil ? Jangan-jangan dia sengaja disembunyikan karena memang tidak terpenuhi padanya…!
Atau kalau kita berhusnudzon, ya mungkin ia tidak tahu syarat-syarat itu, atau lupa, apa ada kemungkinan lainnya lagi?? Dan semua kemungkinan itu pahit. Jadi tidak cukup sekedar musnad muttashil bahkan semua syaratnya harus terpenuhi dan tampaknya keempat syarat yang lain memang tidak terpenuhi sama sekali. Hal itu bisa dibuktikan apabila kita melihat kejanggalan-kejanggalan yang ada pada ajaran 354, misalnya dalam hal imamah, bai’at, makmum sholat, zakat, dan lain-lain. Ini kalau kita anggap syarat Musnad Muttashil terpenuhi pada mereka, sebenarnya itu juga perlu dikaji.
g. Amal jama'ah 354 dengan prinsip ini menyelisihi amal muslimin sejak Zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai saat ini.
h. Kenyataannya mereka hanya mementingkan MMM, tidak mementingkan keshahihan hadits, buktinya dalam buku himpunan mereka ada hadits-hadits dha’if, bahkan maudhu’ (palsu). Lantas apalah artinya MMM kalau haditsnya tidak shahih karena rawinya tidak tsiqoh misalnya? [Contoh pada pembahasan terakhir -pen]
i. Dari siapa ‘manqul’ ini dimanqul? Kalau memang harus manqul bukankah ‘metode manqul’ itu juga harus manqul?? Karena ini justru paling inti, KH Nur Hasan atau para pengikutnya harus mampu membuktikan secara ilmiyah bahwa manqul ini ‘dimanqul’ dari Nabi, para sahabatnya dan para ulama ahli hadits. Kalau ia tidak bisa membuktikannya, berarti ia sendiri yang pertama kali melanggar kaidah manqulnya. Kalau ia mau buktikan, maka mustahil bisa dibuktikan, karena seperti yang kita lihat dan akan kita lihat – Insya Allah – ternyata manqul ini menyelisihi Nabi, para sahabat, dan ulama ahlul hadits.
j. Dalam ilmu Mushtholah al Hadits pada bab tahammul wal ada’ (menerima dan menyampaikan hadits) terdapat cara periwayatan yang diistilahkan dengan al Wijadah. Yaitu seseorang mendapatkan sebuah hadits atau kitab dengan tulisan seseorang dengan sanadnya (kemudian membacanya -baca baca buku- pen) [al Baitsul Hatsits:125]. Dari sisi periwayatan, al wijadah termasuk munqothi’ [Munqothi: terputus sanadnya. Mursal: terputus dengan hilangnya rawi setelah tabi'in. Mu'allaq: terputus dengan hilangnya rawi dari bawah sanad - pen], mursal [Ulumul hadits:86, Fathul Mughits:3/22] atau mu’allaq, Ibnu ash Sholah mengatakan: “Ini termasuk munqothi’ dan mursal…”, ar Rasyid al ‘Atthor mengatakan: “Al wijadah masuk dalam bab al maqthu’ menurut ulama (ahli) periwayatan”.[Fathul Mughits:3/22]
Bahkan Ibnu Katsir menganggap ini bukan termasuk periwayatan, katanya: “Al Wijadah bukan termasuk bab periwayatan, itu hanyalah menceritakan apa yang ia dapatkan dalam sebuah kitab.” [al Baitsul Hatsits:125]
Jadi al wijadah ini kalau menurut kaidah M.M.M-nya KH Nur Hasan tentu tidak terpenuhi kategorinya, sehingga tentu tidak boleh bahkan haram mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan cara al wijadah. Tetapi maksud saya disini ingin menerangkan pandangan ulama tentang mengamalkan ilmu yang didapat dengan al wijadah, ternyata disana ada beberapa pendapat:a. Sebagian orang terutama dari kalangan Malikiyah (pengikut madzhab Maliki) melarangnya.b. Boleh mengamalkannya, ini pendapat asy Syafi’i dan para pemuka madzhab Syafi’iyyah.c. Wajib mengamalkannya ketika dapat rasa percaya pada yang ia temukan. Ini pendapat yang dipastikan ahli tahqiq dari madzhab as Syafi’iyyah dalam Ushul Fiqh. [lihat Ulumul Hadits oleh Ibnu Sholah:87]






Ibnush Sholah mengatakan tentang pendapat yang ketiga ini:
Inilah yang mesti dilakukan di masa-masa akhir ini, karena seandainya pengamalan itu tergantung pada periwayatan maka akan tertutuplah pintu pengamalan hadits yang dinukil (dari Nabi) karena tidak mungkin terpenuhinya syarat periwayatan padanya.” [Ulumul Hadits:87] Yang beliau maksud adalah hanya al wijadah yang ada sekarang. [al Baitsul Hatsits: 126]
An Nawawi mengatakan: ‘Itulah yang benar’
[Tadriburrawi:1/491], demikian pula As Sakhowi juga menguatkan pendapat yang mewajibkan. [Fathul Mughits:3/27]
Ahmad Syakir mengatakan: yang benar wajib (mengamalkan yang shahih yang diriwayatkan dengan al wijadah).
[al Baitsul Hatsits: 126]
Tentu setelah itu disyaratkan bahwa penulis kitab yang ditemukan (diwijadahi) adalah orang yang terpercaya dan amanah dan sanad haditsnya shahih sehingga wajib mengamalkannya. [al Baitsul Hatsits:127] asy syaikh Ali Hasan mengatakan: “Itulah yang benar dan tidak bisa terelakkan, seandainya tidak demikian maka ilmu akan terhenti dan akan kesulitan mendapatkan kitab, akan tetapi harus ada patokan-patokan ilmiyah yang detail yang diterangkan para ulama’ dalam hal itu sehingga urusan tetap teratur pada jalannya” [Al Baitsul Hatsits:1/368 dengan tahqiqnya]. Dengan demikian pendapat yang pertama tidak tepat lebih-lebih di masa ini. Diantara yang mendukung kebenaran pendapat yang membolehkan atau mewajibkan adalah berikut ini Nabi bersabda:
-أي الخلق أعجب إليكم إيمانا ؟قالوا : الملائكة.قال: وكيف لايؤمنون وهم عند ربهم وذكروا الأنبياء،فقال: وكيف لا يؤمنون والوحي ينزل عليهم ؟!قالوا : ونحن فقال: وكيف لاتؤمنون وأنا بين أظهركم. قالوا فمن يا رسول الله؟ قال قوم يأتون من بعدكم يجدون صحفا يؤمونو بما فيها
Makhluk mana yang menurut kalian paling ajaib imannya?” Mereka mengatakan: “Para malaikat.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Bagaimana mereka tidak beriman sedang mereka di sisi Rabb mereka?”. Merekapun (para sahabat) menyebut para Nabi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallampun menjawab: “Bagaimana mereka tidak beriman sedang wahyu turun kepada mereka”. Mereka mengatakan: “Kalau begitu kami?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Bagaimana kalian tidak beriman sedang aku ditengah-tengah kalian.” Mereka mengatakan : “Maka siapa Wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang-orang yang datang setelah kalian, mereka mendapatkan lembaran-lembaran lalu mereka beriman dengan apa yang di dalamnya.” [HR Ahmad, Abu Bakar Ibnu Marduyah, ad Darimi, al Hakim dan Ibu 'Arafah],
Ali alHasan rahimahullah mengatakan: “Cukuplah Hadits itu dalam pandangan saya sebagai Hadits Hasan lighoirihi (bagus dengan jalan-jalan yang lain), semua jalannya lemah namun lemahnya tidak terlalu sehingga dihasankan dengan seluruh jalan-jalannya. Dan al Haitsami dalam al Majma:10/65 serta al Hafidz dalam al Fath:6/7 cenderung kepada hasannya hadits itu. [al Baitsul Hatsits:1/369 dengan tahqiqnya], maraji’: Ad Dho’ifah:647-649, asy syaikh al Albani cenderung kepada lemahnya, Fathul Mughits:3/28 ta’liqnya, Al Mustadrak:4/181, musnad Ahmad:4/106, Sunan ad Darimi:2/108, Ithaful Maharoh:14/63. Tafsir Ibnu Katsir:1/44 Al Baqarah:4- pen]
Amalan Ibnu Umar, dimana beliau meriwayatkan dari ayahnya dengan al wijadah, al Khatib al Baghdadi dalam kitabnya [al kifayah:354] meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Nafi, dari Ibnu Umar,
أنه وجد في قائم سيف عمر بن الخطاب صحيفة فيها ليس فيما دون خمس من ا لابل صدقة فإذا كانت خمسا ففيها شاة
Bahwa beliau mendapatkan pada gagang pedang umar sebuah lembaran (tertulis) ‘Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari lima, kalau jumlahnya 5 maka zakatnya satu kambing jantan…”
Abdul Malik bin Habib atau Abu Imran al Jauni beliau adalah seorang Tabi’in yang
Tsiqoh (terpercaya) seperti kata al Hafidz Ibnu Hajar dalam [at Taqrib:621], beliau mengatakan: “Kami dulu mendengar tentang adanya sebuah lembaran yang terdapat padanya ilmu, maka kamipun silih berganti mendatanginya, bagaikan kami mendatangi seorang ahli fiqih. Sampai kemudian keluarga az Zubair datang kepada kami disini dan bersama mereka orang-orang faqih.” [Al Kifayah:355 dan Fathul Mughits:3/27]
Bila seperti ini keadaannya maka seberapa besar faidah sebuah sanad hadits yang sampai ke para penulis Kutubus Sittah di masa ini, toh tanpa sanad ini pun kita bisa langsung mendapatkan buku mereka. Dan kita dapat mengambil langsung hadits-hadits itu darinya, walaupun tanpa melalui sanad “mangkul musnad muttashil” kepada mereka. Dan wajib kita mengamalkannya seperti anda lihat keterangan di atas.
Tidak seperti yang dikatakan KH Nur Hasan bersama anggota 354nya bahwa tidak boleh mengamalkanya bahkan itu haram!! Subhanallah… pembaca melihat ternyata dalil dan para ulama menyelisihi mereka, jadi dari mana ‘manqulmu’ dimanqul?? asy syaikh Ahmad Syakir mengatakan: “Dan kitab-kitab pokok kitab-kitab induk dalam sunnah Nabi dan selainnya, telah mutawatir periwayatannya sampai kepada para penulisnya dengan cara al wijadah.
Demikian pula berbagai macam buku/kitab pokok yang lama yang masih berupa manuskrip yang dapat dipercaya, tidak meragukannya kecuali orang yang lalai dari ketelitian makna pada bidang riwayat dan al wijadah atau orang yang membangkang, yang tidak puas dengan hujjah.[Al Baitsul Hatsits:128].
Oleh karenanya para ulama yang memiliki sanad sampai penulis Kutubus Sittah, tidak membanggakan sanad mereka apabila amalannya tidak sesuai dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka tidak pernah pamer, tidak pula mereka memperalatnya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena mereka tahu hakekat kedudukan sanad pada masa ini, berbeda dengan yang tidak tahu sehingga memamerkan, memperalat dan…dan…
k. Juga, untuk membuktikan benar atau salahnya ajaran mangkul, Kita perlu membandingkan ajaran jama'ah354 dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Seandainya mangkulnya benar maka tentu ajaran jama'ah354 akan sama dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya, kalau ternyata tidak sama maka pastikan bahwa manqul dan ajaran jama'ah354 itu salah, dan ternyata itulah yang terbukti.



Berikut ini pokok-pokok ajaran jama'ah354 yang berbeda dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya:
- Dalam hal memahami bai’at dan mengkafirkan yang tidak bai’at.
- Dalam hal mengkafirkan seorang muslim yang tidak masuk 354
- Dalam hal mangkul itu sendiri
- Dalam aturan infaq
- Menganggap tidak sah sholat dibelakang selain mereka
- Begitu gampang memvonis seseorang kafir dan di Neraka padahal dia muslim
- Menganggap tidak sahnya penguasa muslim jika selain golongannya
- Dan lain-lain

Sanad Nur hasan Ubaidah [Seputar sanad Nur Hasan atau Ijazah haditsnya ini banyak cerita unik di kalangan jama'ah 354, konon pak kaji nur hasan telah menyelesaikan 49 hadits dan bersanad, tapi hadits-hadits dan sanad-sanadnya hilang waktu naik becak, yang disampaikan kepada pengikutnya hanya 6 saja –yakni kutubussittah.-pen], dalam kitab himpunan susunan jama'ah 354 pada himpunan Kitabush Sholah hal. 124-125 yang sampai kepada Imam at Tirmidzi pada hadits Asma’ wa Shifat Allah, ternyata hadits itu adalah hadits lemah, Ibnu Hajar mengatakan: “‘Illah (cacat) hadits itu menurut dua syaikh (al Bukhari dan Muslim). Bukan hanya kesendirian al Walid ibnu Muslim (dalam meriwayatkannya), bahkan juga adanya ikhtilaf (perbedaan periwayatan para rawinya), idlthirab (kegoncangan akibat perbedaan itu), tadlis (sifat tadlis pada al Walid ibnu Muslim yaitu mengkaburkan hadits) dan kemungkinan adanya idraj (dimasukkannya ucapan selain Nabi pada matan hadits itu [Fathul Bari, syarah al Bukhari:11/215]”. Jadi cacat/’illah/kelemahan hadits itu ada 5 sekaligus, yaitu tafarrud, ikhtilaf, idlthirab, tadlis dan idraj.” Imam At Tirmidzi pun merasakan kejanggalan pada hadits ini, dimana beliau setelah menyebutkan hadits ini mengatakan: ‘Gharib’ (aneh karena adanya tafarrud/kesendirian dalam riwayat) [Sunan at Tirmidzi:5/497, no:3507], demikian pula banyak para ulama menganggap lemah hadits ini seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al Bushiri, Ibnu Hazm, al Albani dan Ibnu Utsaimin. [lihat al Qowa'idul Mutsla:18 dengan catatan kaki Asyraf Abdul Maqshud]. Hadits yang shahih dalam masalah ini adalah tanpa perincian penyebutan Asma’ul Husna dan itu diriwayatkan al Bukhari dan Muslim.






2. Kajian keyakinan kedua, bahwa dialah satu-satunya jalan mangkul.
Apa ini bukan kesombongan, kebodohan serta penipuan terhadap umat?! Karena sampai saat ini sanad-sanad hadits itu masih tersebar luas di kalangan thullabul ilmi, mereka yang belajar hadits di Jazirah Arab, Saudi Arabia dan negara-negara tetangganya, di Pakistan, India atau Afrika, baik yang belajar orang Indonesia atau selain orang Indonesia, mereka banyak mendapatkan Ijazah [Bukan ijazah tamat sekolah, tapi ini istilah khusus dalam ilmu riwayat hadits. Yaitu ijin dari syaikh untuk meriwayatkan hadits - pen] riwayat Kutubus Sittah dan yang lain. Kalau dia konsekuen dengan ilmu mangkulnya, lantas mengapa dia anggap dirinya satu-satunya jalan manqul?? Sehingga kalian – wahai pengikut 354 – mengkafirkan yang tidak menuntut ilmu dari kalian, termasuk mereka yang mengambil ilmu dari negara-negara Arab dari ulama/syaikh-syaikh yang punya sanad, padahal mereka mendapat sanad, ternyata kalian kafirkan juga?!
Asy Syaikh al Albani dan murid-muridnya di Yordania, asy Syaikh Abdullah al Qar’awi dan murid-muridnya, asy Syaikh Hammad al Anshari dan murid-muridnya di Saudi Arabia, asy syaikh Muqbil di Yaman, asy Syaikh Muhammad Dhiya’urrahman al ‘Adhami dari India dan murid-muridnya, dan masih banyak lagi yang lain tak bisa dihitung. Merekapun punya sanad Kutubus Sittah dan selainnya sampai kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tapi mereka tidak seperti kalian, wahai 354... Mereka tahu apa arti sebuah sanad di masa ini, dan perlu diketahui bahwa semua mereka aqidahnya berbeda dengan aqidah kalian…sekarang Mana yang benar, wahai orang yang berakal??